Sejak pasca tragedi World Trade Center (WTC) 11 September lalu, gejolak dunia
semakin terasa. Jutaan mata terarah pada gedung kebanggaan masyarakat Amerika
Serikat (AS) dan pusat ekonomi dunia yang luluh lantak akibat serangan pesawat
komersial milik Amerika yang dibajak dan ditambrakkan ke gedung tersebut.
Tragedi ini pun ternyata berdampak luas dan menyebar ke seluruh dunia. AS yang
selama ini mampu membusungkan dada, karena kebesarannya, benar-benar seperti
ditampar tanpa mampu berbuat apa-apa. Kepongahan AS akibat kebesarannya,
terlebih pasca perang dingin dengan runtuhnya Uni Soviet, seketika itu runtuh di
mata dunia. Seluruh dunia terbelalak. AS yang selama ini dianggap paling aman
dari serangan teroris dengan ketangguhan teknologinya, ternyata tidak seperti
yang selama ini dibayangkan.
Tragedi yang menimpa AS telah membuat negara ini terbelalak dan gelap mata. Dan
untuk menutupi rasa malunya AS pun menuduh Osama Bin Laden sebagai dalang
tragedi tersebut, meski tanpa bukti yang jelas. Dan Afganistan (Thaliban) yang
dianggap melindungi incarannya pun menjadi kambing hitamnya.
Apakah hanya sampai di situ? Ternyata tidak! Dampak yang terjadi kemudian yakni
hampir semua negara yang selama ini berada di bawah hegemoni AS (utamanya yang
mayoritas muslim) pun kelimpungan. Negera-negara itu pun bimbang, antara
membela kebenaran (karena tak adanya bukti-bukti kuat ketelibatan Osama bin
Laden dalam tragedi WTC tersebut) atau kehilangan investasi.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Tidak dapat dipungkiri, sebagai negara yang
berpenduduk muslim terbesar di dunia, rakyat Indonesia pun tergetar hatinya.
Serangan yang dilancarkan AS terhadap Afganistan, tanpa alasan dan bukti-bukti
yang jelas dan akurat, --oleh sebagian besar masyarakat-- telah
diinterpretasikan sebagai serangan untuk menghancurkan umat Islam di Afganistan.
Beberapa organisasi Islam pun bergerak dan menuntut pemerintah mengeluarkan
pernyataan mengutuk serangan tersebut atas nama kemanusiaan. Sebab selama
serangan yang dilancarkan AS tersebut telah menewaskan puluhan bahkan ratusan
penduduk sipil, baik anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua yang tidak bersalah.
Kamp-kamp militer yang selama ini digembar-gemborkan AS sebagai sasarang
serangan ternyata hanya cerita kosong. Terbukti hanya rakyat sipil yang menjadi
korban.
Namun, apa yang terjadi kemudian adalah silang pendapat antara pemerintah
dengan keinginan arus bawah. Pemerintah sepertinya takut untuk menetukan sikap
mengutuk serangan AS tersebut. Terlebih setelah ancaman yang dikeluarkan oleh
Dubes AS yang akan menarik semua investasi pengusaha AS yang ada di Indonesia.
Sebab tidak dapat dipungkiri investasi pengusaha AS di Indonesia cukup banyak
dan jika itu terjadi, maka ekonomi Indonesia akan semakin terpuruk.
Sebenarnya pemerintah tidak perlu terlalu takut dengan ancaman AS tersebut.
Ketergantungan Indonesia kepada AS selama ini, kini saatnya diakhiri. Kenyataan
ini memang merupakan hal yang sangat pahit. Namun, sikap ini merupakan langkah
awal dari kemandirian negara yang bernama Indonesia.
Kalau kita kembali menilik kebelakang, perkembangan Indonesia serta jatuh
bangunnya pemerintahan, ternyata banyak diperankan oleh AS. Lihat saja, naik dan
jatuhnya Soekarno, beberapa hasil penelitian menyebutkan keterlibatan agen CIA
berperan penting dalam proses tersebut. Terlebih ketika itu perang dunia kedua
baru saja berakhir yang kemudian membawa pada perang dingin antara AS dan Uni
Soviet yang merasa dirinya memegang peran penting dalam memenangkan perang.
Jatuh dan naiknya presiden Soeharto pun, peran AS ternyata cukup besar, bahkan
sampai naiknya Megawati sebagai presiden yang ke- 5. Keterlibatan AS dalam jatuh
bangunnya suatu pemerintahan, bukan hanya terjadi di Indonesia. Beberapa negara
yang dianggap sebagai negara sedang berkembang pun mengalami hal yang sama.
Dehegemonisasi Peran Amerika: Belajar Menjadi Diri Sendiri
Peran AS di Indonesia dalam percaturan politik dan ekonomi memang sangat besar.
Namun, itu tidak berarti bahwa Indonesia harus selalu tunduk pada permainan
negara "macan ompong" ini. Pemerintah Indonesia harus menentukan sikap.
Ketergantungan ekonomi yang menyebabkan tekanan politik harus segera diakhiri.
Dan untuk itu, memang dibutuhkan kerja keras dari seluruh rakyat Indonesia,
bukan hanya "rakyat" dalam terminologi para birokrat atau elit politik.
Keinginan baik ini memang harus segera di sambut dengan baik pula. Munculnya isu
penolakan terhadap barang-barang produksi AS, sebenarnya merupakan salah satu
cara yang cukup baik untuk mengembalikan citra produksi dalam negeri. Dan pada
dasarnya, kalau mau berbicara mengenai teror, maka AS telah melakukan --meminjam
istilah Yasraf Amir Piliang- solfteror terhadap masyarakat Indonesia dan
beberapa negara lain di dunia dengan berbagai macam produknya.
Teror-teror ekonomi yang dilancarkan AS terhadap negara-negara yang dianggap
sedang berkembang, jika dicermati dengan jeli jelas begitu kejam. Negara-negara
yang dianggap inferior dibuai dengan segala macam bantuan pinjaman, sampai
negara tersebut mengalami ketergantungan yang sangat, --bahkan tidak mampu lagi
membayarnya kecuali dengan menjual negaranya--, pada AS. Dan setelah itu, yang
terjadi adalah mulainya muncul tekanan-tekanan politik yang harus menguntungkan
AS.
Untuk itulah, pemerintah Indonesia harus mulai belajar untuk tidak tergantung
kepada negara lain terlalu besar, meski interkoneksitas dan hubungan antara
negara perlu dilakukan. Sikap masyarakat yang berusaha menolak semua produk AS
di Indonesia tersebut, oleh pemerintah seharusnya tidak dipandang negatif,
bahkan sebaiknya dilihat sebagai salah satu kekuatan untuk mulai belajar
mandiri dan terlepas dari kungkungan hegemoni negara lain, utamanya dalam bentuk
ekonomi yang pada akhirnya berimbas pada berbagai bentuk tekanan politik.
Kenyataan ini, seharusnya segera disadari dan untuk itu dilakukan
langkah-langkah kongkret oleh pemerintah utamanya dalam mengantisipasi
ketergantungan terhadap bantuan (utang) luar negeri tersebut.
Berdasarkan hasil seminar yang dilakukan oleh Centre Strategic and International
Studies (CSIS), 9 Oktober lalu, disimpulkan bahwa kondisi ekonomi Indonesia
diperkirakan baru akan mengalami recovery economi paling cepat tahun 2007.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi tidak dapat lagi mengandalkan investasi luar
negeri dan ekspor, terlebih pasca tragedi WTC, sebab kondisi ekonomi dalam dan
luar negeri mengalami goncangan yang cukup hebat. Akibatnya, investasi semakin
berkurang dan permintaan barang ekspor pun, menurun.
Olehnya itu, melihat kenyataan tersebut, langkah konkret yang perlu dilakukan
oleh pemerintah adalah bagaimana sesegera mungkin membangun sektor ekonomi yang
berbasis kerakyatan. Sebab hal ini telah teruji; ditengah goncangan krisis yang
menimpa Indonesia usaha-usaha sektor kecil masih dapat berdiri kokoh. Sementara,
usaha raksasa yang selama ini mengandalkan investasi besar, terhuyung-huyung dan
beberapa diantaranya pun bangkrut.
Selain itu, pemerintah juga perlu segera mengambil kebijakan struktural agar
dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri dengan cepat. Kebijakan
struktural tersebut meliputi deregulasi peraturan yang menghambat perdagangan
antar daerah, pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan penegakan
supremasi hukum.
Kebijakan struktural ini sangat penting dilakukan, sebab selama ini kebocoran
anggaran proyek paling banyak terjadi. Dengan memperbaiki dan memperketat
kembali sistem peraturan serta penegakan supremasi hukum, berbagai macam
kebocoran anggaran tersebut dapat terkurangi. Sehingga uang tersebut dapat
digunakan sesuai dengan porsinya.
Langkah lain yang perlu dilakukan adalah dengan meningkatkan apresiasi
masyarakat terhadap barang-barang produksi dalam negeri. Hal perlu dilakukan,
sebab selama ini pemerintah tidak terlalu memperdulikannya. Apresiasi masyarakat
selama ini terhadap produk Indonesia, terlihat negatif. Masyarakat akan sangat
gembira bila ia memiliki barang dari luar negeri meskipun itu sebenarnya buatan
Indonesia yang dijual atau dimodifikasi ulang di luar negeri.
Untuk itulah dengan meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap produk dalam
negeri, maka secara tidak langsung akan dapat meningkatkan daya beli dan
konsumsi masyarakat akan produk Indonesia. Dan ini jelas akan berimbas pada
pertumbuhan perekonomian Indonesia ke arah yang lebih maju. Sebab, meningkatnya
daya beli masyarakat akan produksi dalam negeri, merupakan tulang punggung bagi
pertumbuhan ekonomi Indonesia, saat ini dan di masa depan. Maka isu penolakan
semua produk AS di Indonesia merupakan salah satu trik atau upaya untuk lebih
mencintai produk dalam negeri.
Saatnya memang pemerintah harus bekerja keras. Mengurangi, atau terlebih
menghilangkan invasi hegemoni kekuatan ekonomi AS atau pun negara lain ke dalam
negeri, memang merupakan pekerjaan sulit. Namun, itu perlu dilakukan, sebab
Indonesia adalah negara yang sangat kaya. Sehingga, nantinya rakyat akan
berbangga memiliki negara yang bernama Indonesia, yang tidak atau terlalu
tergantung pada negara lain dan mampu secara maksimal memproduksi kebutuhannya
sendiri, serta memiliki generasi yang di kepalanya tidak lagi memiliki utang
warisan nenek moyangnya yang korup.
Indonesia, harus menjadi negara yang berdaulat sepenuhnya. Dan kini, saatnya
rakyat Indonesia -sekali lagi bukan dalam kepala orang-orang yang selama ini
memanfaatkan kata rakyat untuk kepentingannya sendiri--, harus belajar menjadi
sendiri. Sebab itulah yang pantas dibanggakan di depan bangsa atau pun negara
lain.
0 komentar:
Posting Komentar